Berpikir Dewasa Belum Tentu Bersikap Dewasa

Ilustrasi : Google

Ilustrasi : Google

Beberapa hari lalu saya sering melihat postingan teman-teman atau rekan-rekan di maillist maupun di group facebook, yaitu banyak yang selalu berfikir kritis terhadap dogma agama maupun pada sistem pemerintahan dari bentuk khilafah dan juga demokrasi. Karena mungkin mereka merasa terpanggil untuk memperbaiki semua keadaan dari krisis moral, ekonomi dan juga kurangnya sumber daya manusia yang berkualitas.

Pembahasan pada kemiskinan dan moral selalu menjadi dasar bahasan. Perasaan dan semua pola pikir mengingatkan kita pada keadaan orang-orang yang menjadi objek bahasan yaitu orang yang hidup dibawah garis kemiskinan (proletar) tersebut. Totalitas kesimpulan yang ada pada mereka sangat banyak dalam pandangan terhadap alasan kemiskinan dan moral itu, karena mungkin mereka itu mengikuti dogma agama tanpa kritis terhadap agama yang dianutnya, mungkin mereka itu korban kemalasan, dan mungkin juga mereka korban peradaban ataupun korban sistem yang salah.

Kalau kita mau jujur sebenarnya hal ini telah menjadi persoalan kemanusiaan yang jauh lebih dalam dan lebih penting yang bukan hanya menghabiskan waktu untuk berdiskusi/berdebat pada kesempatan tertentu saja. Walaupun wawasan kita bertambah tapi apakah semua itu bermanfaat buat mereka (orang yang hidup dibawah garis kemiskinan) yang jauh lebih membutuhkan sikap nyata kita. Dan apakah keadaan mereka bisa berubah hanya dengan nasehat-nasehat yang kita berikan dan doa-doa yang kita panjatkan buat mereka?

Berangkat dari pengalaman saya dan mungkin bukan saya saja yang melihat banyak orang berdoa sampai menangis dengan cucuran air mata (Fundamentalis tanpa sikap kritis), mereka yang berfikir (Intelektual tanpa bersikap) dan juga mereka (Pelaku spiritualitas tanpa sikap kritis). Mereka hanya asik bermain dalam keadaan yang hinggap pada backgroundnya masing-masing dan mereka selalu merasa sudah menjalankan apa yang menjadi panggilan semu terhadap keadaan kemiskinan dan keadilan tersebut.

Dan bila kita mau mengakui dan lebih bersikap jujur pada diri ini bahwa kitalah sendiri yang sebenarnya menjadi penghalang terbesar terhadap keadaan kemiskinan yang ada dan keadilan yang seharusnya mereka (proletar) dapatkan. Penghalang terbesar ini seperti tembok raksasa yang menjadi penghambat terangkuh dan terkuat yang hanya bisa di robohkan dengan sikap kritis diri sendiri dari pada kritis keluar diri (sudahkah kita berbuat sesuatu yang berguna, walaupun hal kecil terhadap mereka yang hidup dibawah garis kemiskinan)

Sekarang kita mulai dengan semua pertanyaan-pertanyaan klasik terhadap tujuan hidup ini. Apa anda selalu memaknai hidup ini? Apa anda sudah melupakannya? Apa yang anda dapat dari pengaruh ajaran agama anda selama ini? Apa yang anda dapat dari pengaruh dari sistem yang anda banggakan selama ini? Apa itu semua telah mengubah kemiskinan di negara ini? Apa dengan itu semua terciptanya keadilan bagi mereka (kaum proletar) dalam hal pendidikan ataupun kesejahteraan? Apa kita sudah merasa bangga terhadap keadaan sekarang ini?

Berfikir dewasa belum tentu bersikap dewasa, kenapa? Karena memang inilah yang terjadi bukan? kita terlalu asik bermain pada awal tujuan tapi melupakan proses nyata yaitu bersikap pada kenyataan hidup, karena hidup bukan hanya berfikir yang hanya memasukan pengetahuan dalam gagasan, saya sangat yakin bahwa hidup bukan hanya dalam konsep ide dan tujuan tapi juga dengan gerak. Dan gerak disini dalam arti proses bersikap yaitu menjalankan semua yang sudah masuk dalam gagasan, imajinasi dan juga harapan dalam pemaknaan pada kehidupan nyata.

Manusia bisa saja dibilang manusia karena memang punya fikiran, ide dan mimpi tapi belum tentu di bilang kemanusiaan yaitu ke derajat yang lebih tinggi lagi. Kemanusiaan itu lahir dari sebuah rasa terhadap gerakan atas pemaknaan arti “manusia” sesungguhnya, karena gerak adalah bagian nyata hidup.

Kita selalu mengutamakan tujuan tapi kadang melupakan sikap (proses nyata) bukankah ini terbalik? Seharusnya tujuan itu menjadi awal segala bentuk sikap, tapi perlu di pastikan kembali bahwa proseslah yang utama, “tujuan adalah awal tapi yang utama adalah prosesnya. Coba anda melihat di sekililing anda yaitu kaum proletar apa mereka tidak nyata untuk dilihat dengan mata ini maupun dengan mata hati anda?.

Kita selalu ingin merasa nyaman, kita terus bohong pada diri sendiri terlebih pada kenyataan. Mimpi dan juga harapan kita satu, yaitu ingin kebahagian, begitupun kaum proletar sudah pasti juga ingin bahagia. Satu-satunya finalnya adalah dengan jalan sikap (gerak).

Beberapa kebodohan yang sulit dihilangkan sepanjang sejarah manusia antara lain perang atas pembelaan agama dan juga kita yang selalu merasa sudah menjalankan konsep harapan terhadap hidup nyata padahal kemungkinan besar hanya dalam konsep diskusi dan opini saja.

Kemanusiaan tidak memandang agama, kemanusiaan bukan karena ideologi dan kemanusiaan bukan hanya untuk dijadikan konsep, tapi bila kita sudah bersikap dengan rasa kemanusiaan itulah yang saya sebut sebagai orang yang beragama dan orang yang berintelektual (aksi) yang telah membuktikan sikap membantu kaum proletar dan ikut serta pada kegiatan kemanusiaan, inilah orang-orang yang sudah tepat menjalankan ideologi dan keyakinan agamanya.

Musuh nyata kita adalah diri kita sendiri (ego). Jadi masalahnya bukan agama dan ideologinya tapi egonya.

Pesan :

Tulisan ini hanya sebagai semangat “Kritis” terhadap pembenahan diri dari segala arah. Bukan untuk mendukung khilafah maupun demokrasi ataupun agama tertentu tapi lebih mengkritisi diri sendiri dibandingkan keluar diri dari pada menghabiskan waktu serta momen kehidupan di dunia ini yang hanya diisi dengan semua filosofis dan argumen-argumen kosong tanpa kenyataan.

~ Memang nikmat membaca itu tapi lebih nikmat lagi bila kita menulis, dan terus berkarya Oleh Gw Untuk Lo~ PiSs ah…!! :p

Tinggalkan komentar